|
BAMBANG SETIYAWAN, S.Pd |
Kecerdasan emosional memang membuat orang lebih
mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi untuk menemukan kebahagiaan dan
makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Awal juni lalu, kita dikejutkan oleh peristiwa tragis yang terjadi
di Bandung. Seorang wanita yang dikenal sholeh, berpendidikan tinggi,
sanggup membunuh 3 anaknya sendiri dalam waktu 24 jam. Bagaimana mungkin
seorang wanita yang taat beragama bisa melakukan hal seperti itu?
Apalagi kemudian terungkap alasan dari tindakannya itu. Katanya, ia
membunuh anak-anaknya justru karena sangat menyayangi anak-anaknya dan
takul tidak mampu rnenjadi ibu yang baik.
Menurut
DR Jalaluddin Rakhmat MSc, itu bisa terjadi karena dia tidak bahagia.
Kalau meminjam istilahnya Tony Buzan, pakar tentang otak manusia dari
Amerika, kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi
berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya. Seseorang yang dikatakan
taat beragama belum tentu cerdas secara spiritual. Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan kecerdasan spiritual? Dan apa bedanya dengan kecerdasan
emosional?
Bedanya Kecerdasan Emosional dan Spiritual
Pada
awalnya, orang hanya mengenal kecerdasan iritelektual, kemudian muncul
kecerdasan emosional dan kini kecerdasan spiritual. Menurut DR
Jalaluddin Rakhmat MSc, seorang psikolog, kecerdasan emosional
(emotional intelligent) dipopulerkan Daniel Coleman meskipun dia bukan
penemunya. Psikolog Howard Gardner adalah orang yang pertama menemukan
sejenis kecerdasan untuk bisa memaharni orang-orang lain, dan disebutnya
sebagai kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligent).
Oleh
Daniel Coleman, selelah sepakat dengan penelili-peneliti lain,
kecerdasan interpersonal itu disebutnya kecerdasan emosional. Pada
intinya, kecerdasan emosional adalah kemampuan orang untuk memahami
orang-orang di sekitamya, berinteraksi untuk mengembangkan empati,
simpati, dan untuk bisa bekerjasama.
Sedangkan Howard Gardner
merumuskan delapan kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan musikal,
kinestetik (kemampuan menari), visual (kemampuan menggambar,
mengekspresikan sesuatu dalam bentuk lukisan), logis matematis,
interpersonal (personal), intrapersonal (berpikir refleksi), linguistik
(menggunakan bahasa), dan naturalistik. Tapi Gardner tidak memasukkan
kecerdasan spiritual karena katanya kecerdasan spiritual itu tidak punya
tempat di dalam otak kita seperti kecerdasan yang lain.
Tapi
belakangan kecerdasan spiritual itu menurut penelitian-penelitian di
bidang neurologi (ilrnu tentang syaraf) justru punya tempat di dalam
otak. |adi ada bagian dari otak kita dengan kemampuan untuk mengalami
pengalaman-pengalaman spiritual, untuk melihat Tuhan. Dalam hal ini
maksudnya adalah menyadari kehadiran Tuhan di sekitar kita dan untuk
memberi makna dalam kehidupan. jadi ciri orang yang cerdas secara
spiritual di antaranya adalah bisa memberi makna dalam kehidupannya.
Sedangkan
ciri umum orang yang cerdas secara emosional yaitu sukses dalam
kehidupan, sukses dalam pekerjaan, mampu bekerjasama dengan orang lain,
mampu mengendalikan emosi. Dia juga biasanya pintar menarik hati orang
lain, bisa memahami sifat setiap orang dengan tepat, biasanya juga hafal
nama-nama orang yang dikenalnya dan mengetahui kesenangan dan
ketidaksukaan orang itu. Orang yang cerdas secara emosional itu dalam
tingkat yang negatif bisa memanipulasi orang tapi dalam tingkat yang
positif bisa menjadi pemimpin yang baik.
Cerdas Spiritual Beda Dengan Sikap Religius
Sayangnya,
masih menurut DR jalaluddin Rakhmat, di Indonesia kecerdasan spiritual
lebih sering diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid,
pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami
secara keliru. Padahal kecerdasan spiritual itu kemampuan orang untuk
memberi makna dalam kehidupan. Ada juga orang yang mengartikan
kecerdasan spiritual itusebagai kemampuan untuk tetap bahagia dalam
situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya.
Mengutip Tony
Buzan, pakar mengenai otak dari Amerika, DR jalaluddin Rakhmat
menyebutkan bahw ciri orang yang cerdas spiritual itu di antaranya
adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan
tujuan hidupnya, jadi merasa rnemikul sebuah misi yang mulia kemudian
merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta (Tuhan atau
apapun yang diyakini, kekuatan alam semesta misalnya), dan punya sense
of humor yang baik. Di Amerika, pelatihan-pelatihan kecerdasan spiritual
ditujukan untuk itu, yaitu melatih orang memilih kebahagiaan di dalam
hidup.
Penelitian itu dilanjutkan sampai muncul aliran di dalam
psikologi yang membuat terapi baru. Dulu kalau ada orang depresi diobati
dengan obat anti depresi seperti prozak, sekarang cukup disuruh
beramal, menolong orang lain, ternyata terjadi perbaikan. Dengan
menolong dan beramal, dia menemukan bahwa hidupnya bermakna, dan itu
namanya kecerdasan spiritual, jadi orang yang cerdas spiritual itu bukan
yang paling rajin salatnya, tapi yang senang membantu orang lain,
mempunyai kemampuan empati yang tinggi, juga terhadap penderitaan orang
lain, dan bisa memilih kebahagiaan dalam hidupnya.
Di Indonesia
buku Kecerdasan Spiritual yang pertama ditulis oleh Danah Zohar. Saya
memberikan kata pengantar disitu sekaligus mengkritik Danah Zohar, tapi
ada juga yang tidak saya kritik yaitu kata-kata Danah Zohar bahwa bisa
saja seorang ateis malah memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Banyak orang menjadi ateis itu bukan karena argumentasi rasional tapi
karena tingkah laku para pemeluk agama yang mengecewakan mereka misalnya
melihat orang-orang beragama yang tidak bisa menghargai perbedaan
pendapat, merasa dirinya paling benar, dan suka menghakimi orang lain.”
“jadi
ada orang yang tidak mempersoalkan Tuhan, yang penting bisa berbuat
baik kepada orang banyak. Ini ciri orang yang cerdas spiritual juga.
Sekarang baru terbukti secara psikologis bahwa banyak menolong orang itu
membuat bahagia. Mengapa? Karena dengan begitu kita jadi menemukan misi
hidup.” Demikian penjelasan DR |alaluddin Rakhmat.
Kecerdasan Spiritual Bisa Dilatih
Kini
pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual semakin mudah
ditemukan (lihat boks “Cara praktis cerdas spiritual” dan “Cerdas emosi
dan spiritual lewat sembilan jalan”). Masih menurut DR Jalaluddin
Rakhmat, mengikuti training bisa saja membantu mempengaruhi kecerdasan
spiritual selama konsepnya benar. Keberhasilan seseorang belajar lewat
training dapat dilihat jika setelah mengikuti training hidupnya berubah
menjadi positif yang tadinya depresi atau menderita kecemasan, ketakutan
pada masa depan, kebingungan, lalu menjadi bahagia.
Cara Praktis Cerdas Spiritual
Menurut
Erbe Sentanu dari Katahati Institute, kecerdasan spiritual itu
mempunyai banyak konsep, kiat, dan caranya. “Saya sendiri selalu melihat
ke sisi pragmatis dan empirisnya,” katanya. Orang yang cerdas secara
spiritual itu bagaimana sih rasanya? Otak dan tubuhnya beroperasi
seperti apa?
“Buat saya cerdas secara spiritual atau dekat dengan
Tuhan itu harus dibuktikan dengan berada di zona ikhlas yang
mensyaratkan tiga hal, yaitu gelornbang otaknya harus lebih banyak dalam
posisi Alfa dan Tetha, kemudian sistem perkabelan otaknya
(neuropeptide) serasi dan memunculkan perasaan tertentu kepada Tuhan,
lalu tubuhnya harus cukup mengandung hormon serotonin, endorfin, dan
melantonin dalam komposisi yang pas. Dalam kondisi itu, maka dengan
sendirinya ciri-ciri kecerdasan spiritual akan muncul.”
“Tanpa
ketiga syarat itu, agak sulit dipercaya. Misalnya seseorang mengaku
dekat dengan Tuhan tapi hormon di tubuhnya dominan kortisol, yaitu
hormon yang muncul pada saat orang stres, bagaimana mungkin? Seseorang
yang dekat dengan Tuhan mestinya lebih banyak berada dalam kondisi
khusyuk, kondisi rileks, dan hormon di tubuhnya pasti hormon yang bagus
seperti hormon DHEA, serotonin, endorfin, dan melantonin”.
Mempelajari
kecerdasan spiritual tidak bisa begitu saja lewat buku, karena hasilnya
hanyalah pemahaman kecerdasan spiritual lewat logika, apalagi kalau
membacanya sambil stres. Akan lebih efektif jika menggunakar brainwave
technology, yaitu dengan mendengarkan CD musik yang berfungsi rnenarik
gelornbang otak ke Alfa-Theta selama 20 menit pada pagi dan petang hari.
Kita
juga bisa melatih kecerdasan spiritual lewat puasa dengan syarat puasa
tersebut dijalankan dengan benar. Karena puasa bisa menurunkan
gelornbang otak dari Beta ke Alfa-Theta sehingga rnembuat orang lebih
sabar dan memunculkan keinginan untuk berbuat baik. Kalau itu berlanjut
hingga 10 hari maka otaknya akan stabil beroperasi di Alfa-Theta. ”
“Kalau hal itu bisa berlanjut hingga 20 hari, maka hormon-hormon yang
baik dan menenangkan akan diproduksi oleh tubuh. Saat itu dia akan
melihat hidup ini dengan cara lain, menjadi mudah bersyukur, mudah
rnerasa terharu.”
” Memunculkan perasaan mudah bersyukur itu
penting sekali karena rasa syukur bisa diartikan sebagai kemampuan
menikmati hidup ini apapun kondisinya, sehingga susah atau senang
rasanya tetap nikmat. Rasa syukur yang benar, dalam arti betul-betul
menghayati nikmatnya hidup, juga sangat membantu memunculkan kecerdasan
spiritual. (N)
Memperkaya Sisi Spiritual Lewat Pelatihan
Rizal Pingai (karyawan swasta)
“Saya
sudah sering mengikuti pelatihan, diantaranya ESQ. Holistik Alwan
Nasution, juga Neurolog Wiwoho,” tutur Rizal Tingai. “Menurut saya,
setiap pelatihan selalu memberikan nilai tambah dalam perkembangan jiwa.
Tapi jawaban dari apa yang saya cari selama 32 tahun baru saya ternukan
setelah mengikuti pelatihan di Katahati Institute,” sambungnya.
“Tadinya
saya termasuk orang dengan temperamen tinggi, tapi kini saya berubah.
Dulu saya stres menghadapi kemacetan, sekarang bisa ikhlas dan bisa
berpikir barangkali setiap orang memang punya tujuan yang sama. Selain
itu, kalau dulu setiap berdoa saya terus saja meminta tapi lupa
bersyukur, kini setiap berdoa selalu diawali dengan mensyukuri semua
yang diberikan Tuhan. Dengan anak-anak pun saya lebih sabar dan
pengertian. Saya pernah minta maaf kepada anak saya karena merasa salah,
padahal dulu itu sesuatu yang sulit dilakukan.”
“Dalam hidup,
kita cenderung lebih banyak menggunakan otak. Padahal dengan perasaan
dan keikhasan kita justru bisa menghasilkan loncatan-loncatan dalam
kehidupan. Bermirnpi ketika tidur itu biasa, yang tidak biasa adalah
bermimpi di alam sadar. Karena setiap orang harus punya imajinasi untuk
diwujudkan, jadi kita perlu melakukan improvisasi dan inovasi terus
menerus,” ujarnya lagi.
Doddy Nasution (asisten manager purchasing sebuah perusahaan asing)
“Pengalaman
saya selelah mengikuti berbagai pelatihan, ternyata bahwa pelatihan
yang membuat orang menangis itu efeknya hanya dalam jangka pendek,”
tutur Doddy. “Pada saat pelatihan memang rasanya lega, karena kita
memang butuh pelepasan masalah-masalah hidup. Tapi setelah di rumah
semua masalah itu kembali lagi. Jadi rasanya hanya sesaat lari dari
kenyataan saja, ” lanjutnya.
“Saya lebih cocok dengan solusi yang
diberikan kang Jallal (DR Jalaluddin Rakhmat - Red), yaitu dengan
membantu orang lain. Beramal baik itu meringankan perasaan. Bukan
berarti masalah kita lalu selesai, tapi masalah kita itu menjadi terasa
ringan dengan menolong orang tanpa rnemandang agama, suku, ras. Pokoknya
kepada semua mahluk Tuhan tanpa pilih-pilih.”
“Dengan berkhidmat
kepada sesama seperti itu ternyata membuat kita lebih kuat, meringankan
derita, dan lebih cepat mengantarkan kita pada kecerdasan spiritual
yang lebih tinggi. Dengan begitu, kita menjadi lebih dekat dengan Tuhan
dan Tuhan pun akhirnya rnemudahkan urusan-urusan kita,” begitu pendapat
Doddy Nasution.
Abi (wiraswasta)
“Sejak dulu saya memang
senang membaca buku-buku psikologi, dan suka mengikuti seminar-seminar
motivasi seperti seminarnya Anthony Robbins, juga pelatihan-pelatihan.
Yang saya rasakan, pengaruh semua bacaan, seminar, dan pelatihan itu
biasanya hanya bertahan selama 2 bulan,” tutur Abi.
“Tapi sejak
mengikuti pelatihan di Katahati, pikiran saya rasanya seperti diset
ulang dengan brainwave technology sehingga terjadi perubahan paradigma
dan cara saya dalam rnemandang segala sesuatu. Rasanya saya jadi lebih
fokus dalam menghadapi masalah dan bisa tenang. Emosi pun terkontrol
dengan baik, saya tak lagi mudah marah dan tersinggung. Di jalanan yang
rnacet, kaiau biasanya merasa mendongkol, kini malah bisa menikmati
kemacetan,” tutur Abi.
“Masalah itu kalau dinikmati ternyata bisa
menjadi ringan; kalau diterima dengan ikhlas dan senyuman, bisa lebih
mudah selesai. Kini karena hati saya bisa menerima segala keadaan, maka
tak ada amarah, tak ada perasaan atau tindakan negatif. Sangat luar
biasa. Salat menjadi lebih khusyuk, berdzikir pun enak. Kata sekretaris
di kantor, sekarang saya juga menjadi lebih sering tersenyum,” demikian
Abi.
Iranti Emingpradja (artis, presenter, penulis)
“Mengerti
kecerdasan spiritual lewat rasio itu mudah, tapi untuk betul-betul
menyadarinya dan mengamalkannya itu susah, ” demikian komentar Irianti
Erningpradja. “Buku pertama yang saya tulis adalah tentang kecerdasan
spiritual (judulnya Kebiasaan sehari-hari untuk meningkatkan kecerdasan
spiritual) Jadi saya sudah lama tahu bahwa ciri orang yang kecerdasan
spiritualnya tinggi itu diantaranya mudah memaafkan, jujur, sabar, tidak
mudah tersinggung, kreatif, terbuka, spontan, memahami jati diri,
memiliki misi hidup,dll. Tapi untuk bisa terus menerus mempraktikkan
semua itu ternyata tidak mudah,” sambungnya.
“Sebenarnya saya
sudah sering mengikuti pelatihan, tapi setelah mengikuti pelatihan di
Katahati Institute, barulah saya sadar bagaimana caranya supaya cerdas
spiritual,” katanya. “Dengan cara connect ke dalam hati, semua
karakteristik yang harus dimiliki tersebut ternyata bisa muncul sendiri
dari dalam dan lebih mudah dipraktikkan. Jadi bukan lagi berupa hafalan
atau teori saja. Kuncinya ternyata satu hal itu, consult your heart.”
“Namun
setelah itu bukan berarti lalu semuanya selesai karena manusia tetap
harus lerus tumbuh. Manusia adalah spirit yang sifatnya tak terbatas.
Dengan terus browsing lewat hati, kita bisa terus menemukan pemahaman
yang tidak pernah berhenti.” lanjutnya dengan bijak.(N)
SUMBER : BAMSSAKTI .BLOGSPOTS.COM